Pages

Selasa, 01 Februari 2011

berita aktual

“Orang-orang Terhalang Pulang” 41 tahun tanpa perhatian Negara:
Catatan sejarah HAM
(Dialog Redaksi “PATRIA INDONESIA BAKTI” dengan MD KARTAPRAWIRA)

PENGANTAR
Seperti kita ketahui masalah orang Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya karena dicabut paspornya oleh KBRI di luar negeri dengan sewenang-wenang setelah pecahnya peristiwa G30S tahun 1965 sampai saat ini – sudah 41 tahun lamanya -- belum mendapat penyelesaian dari penyelenggara negara, meskipun sudah diprakarsai oleh Presiden (mantan) Abdurrahman Wahid pada tahun 2000. Betapa tampak paradoksnya kebijakan pemerintah terhadap orang-orang GAM yang jelas-jelas melakukan pemberontakan terhadap Republik Indonesia dibandingkan dengan kebijakan terhadap orang-orang yang dicabut paspornya tersebut di atas. Bahkan orang-orang GAM tersebut diberi berbagai macam santunan dan fasilitas yang jumlahnya cukup banyak. Di bawah ini adalah dialog santai Redaksi “PATRIA INDONESIA BAKTI” dengan Bpk. MD Kartaprawira, dari Indonesia Legal Reform Working Group di Negeri Belanda mengenai masalah-masalah berkaitan dengan “Orang Terhalang Pulang” di luar negeri.

Catatan arti singkatan: PIB – “PATRIA INDONESIA BAKTI”; MDK MD Kartaprawira; OTP -- Orang Terhalang Pulang; Mahid -- Mahasiswa Ikatan Dinas

PIB: Banyak tulisan di media cetak dan internet, termasuk tulisan-tulisan anda, mengenai OTP. Bisakah dijelaskan, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan OTP?

MDK: Yang dimaksud dengan “Orang Terhalang Pulang” - OTP yalah orang-orang yang pada waktu meletusnya peristiwa G30S di Indonesia sedang melakukan tugas di luar negeri (sebagai mahasiswa, pejabat negara, delegasi, wartawan dan lain-lainnya) yang oleh KBRI di negara mereka berada dicabut paspornya atau dianulir keberlakuan paspornya karena persoalan politik, sehingga akhirnya berakibat kehilangan kewarganegaraan Indonesia, menjadi stateless – apatride. Dengan demikian mereka praktis tidak bisa ke mana-mana, termasuk pulang ke tanah air. Dari mereka ini kebanyakan adalah mantan mahasiswa-mahasiswa yang dikirim oleh pemerintah Soekarno untuk tugas belajar ke negara-negara sosialis. Mereka ini juga dikenal sebagai “mahid” – mahasiswa ikatan dinas, sebab sesudah tamat belajar mereka diwajibkan berdinas pada negara dalam jangka waktu tertentu.
Karena mereka tidak bisa selama-lamanya hidup sebagai orang stateless, maka akhirnya terpaksa memutuskan menerima paspor negara-negara di mana mereka berdomisili, agar secara yuridis terlindungi kehidupannya baik dari segi ekonomi maupun keamanan serta bisa menjenguk sanak keluarganya atau bervakansi ke Indonesia. Saya kira istilah “OTP” ini lebih tepat dibaca/diartikan sebagai “Orang Korban Pelanggaran HAM di Luar Negeri oleh Rejim Orba”.

PIB: Tapi apakah semua “mahid” menjadi OTP?

MDK: Pertanyaan bagus sekali, sebab banyak orang mengira bahwa semua mahid adalah OTP. Padahal tidak begitu kenyataannya, bahkan sebagian besar mereka bisa pulang dengan lenggang kangkung setelah tamat studinya.

PIB: Bisakah hal itu dijelaskan lebih jauh, mengapa ada yang jadi OTP dan ada yang tidak – bahkan bisa lenggang kangkung pulang?

MDK: Seperti kita ketahui pada waktu Pemerintahan Soekarno Nasakom ( persatuan Nasionalis, Agama dan Komunis) adalah salah satu garis politik negara. Meskipun semua orang menyatakan mendukung Nasakom, tetapi kenyataannya terdapat golongan secara tidak terbuka menentangnya. Pada umumnya mereka ini anggota/pendukung parpol yang anti komunis. Maka di Indonesia terjadi dua kubu: pendukung politik pro-Nasakom dan pendukung politik anti-Nasakom. Peta politik demikian itu pun berimbas di kalangan masyarakat Indonesia di luar negeri, termasuk di kalangan mahasiswa. Kebanyakan mahasiswa yang pro-Nasakom inilah yang dicabut paspornya oleh KBRI setempat. Padahal politik Nasakom ini adalah garis resmi politik pemerintah Soekarno, yang mengirimkan ke luar negeri, sehingga tidak ada salahnya sedikitpun kalau mahasiswa juga berorientasi pada politik pemerintah. Saya pada waktu itu adalah salah satu dari mereka yang sedang studi di Moscow (Uni Soviet).
Ketika meletus G30S pun kami bingung, tidak tahu binatang apa gerangan G30S tersebut. Makanya absurd sekali ketika kami dituduh tersangkut G30S. Dan adalah kebijakan yang sangat brutal sekali ketika paspor kami dicabut atau dianulir keberlakuannya.
Kami yang belajar di luar negeri, yang sedikit banyak bisa belajar tentang demokrasi dengan cepat mengerti dan menyadari bahwa itulah praktek fasis semacam yang pernah terjadi di negara-negara fasis. Proses hukum yang membuktikan kami bersalah sehingga harus dicabut paspornya tidak pernah dilakukan. Dan itu wajar di dalam negara fasis.

PIB: Mahasiswa yang belajar di Uni Soviet kala itu besar sekali jumlahnya. Bagaimana penguasa KBRI di Moscow mengetahui siapa-siapa yang harus dicabut paspornya?

MDK: Dengan timbulnya peristiwa G30S, maka para mahasiswa yang anti Nasakom mempererat hubungannya dengan KBRI yang didominasi oleh Atase Militernya dan mereka kemudian mendirikan KAMUS (Kesatuan Aksi Mahasiswa-Indonesia di Uni Soviet) yang serupa politiknya dengan KAMI dan KAPI di tanah air sebagai pendukung dan tulang punggung rejim Orde Baru/Suharto.
Anggota-anggota KAMUS inilah yang mengetahui kehidupan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di universitas-institut di Uni Soviet. Mereka inilah sumber informasi intel-intel KBRI untuk menentukan siapa-siapa mahasiswa kiri pendukung Presiden Soekarno, untuk dituduh tersangkut G30S dan tidak loyal kepada RI yang harus dicabut atau dinyatakan tidak berlaku paspornya.


PIB: Bagaimana kehidupan anda dan mahid lainnya yang dicabut paspornya?

MDK: Setelah paspor kami dicabut atau dianulir, kami terus melanjutkan studi sampai tamat di Universitas masing-masing. Untungnya, dan kami berterima kasih sekali, bahwa pemerintah di mana kami studi bisa mengerti keadaaan kami, sehingga masalah pencabutan paspor tersebut tidak menjadikan masalah kelangsungan studi dan keberadaan kami.
Saya pada awalnya mempunyai prediksi, bahwa keadaan carut marut di Indonesia karena peristiwa G30S akan cepat terselesaikan. Tapi kenyataannya bicara lain, bahkan pemerintahan Soekarno yang mengirimkan kami belajar ke luar negeri ditumbangkan oleh rejim jenderal Suharto setelah secara merangkak kudetanya mencapai titik finish di MPRS, yang dipimpin oleh jenderal Nasution dengan keputusan dicabutnya kekuasaan Presiden Soekarno.
Menurut pendapat saya peristiwa tersebut suatu pukulan berat bagi gerakan pembebasan nasional rakyat Indonesia yang sedang berjuang melawan nekolim untuk mendirikan Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis politik Trisakti.
Setelah saya tamat studi di Universitas, ternyata situasi yang saya harapkan tidak terjadi. Maka saya memutuskan untuk melanjutkan studi lagi pada jenjang lebih tinggi di Universitas Negara Lomonosov , Moscow (Uni Soviet) dalam bidang hukum internasional sehingga tamat. Sedang harapan akan perubahan politik di Indonesia tetap ada dalam benak saya. Sementara teman-teman mahid lainnya ada yang memilih bekerja dari pada studi.
Tentu saja kehidupan di negara asing tidak se”nyaman” di negerinya sendiri, apalagi dari sudut pandang ideologi yang saya pegang - Marhaenisme Bung Karno. Ketidak cocokan ideologi inilah yang sering mengakibatkan kesulitan-kesulitan dalam kehidupan pribadi maupun organisasi. Meskipun demikian kesulitan-kesulitan tersebut dengan tabah bisa dihadapi dan diatasi. Setelah berhasil menamatkan studi lanjutan saya diterima bekerja di suatu institut penelitian sebagai peneliti senior selama 17 tahun. Di antara para mahid ada yang nasibnya lebih jelek (juga karena perbedaan politik dengan penguasa negara setempat), setelah tamat belajar diberi pekerjaan di kota-kota terpencil, jauh dari masyarakat Indonesia. Sehingga mereka merasa di”buang”.

PIB: Menurut anda apa yang harus dilakukan pemerintah RI untuk menyelesaikan masalah OTP pada umumnya dan mahid pada khususnya?

MDK: Kebenaran dan keadilan harus ditegakkan benar-benar. Bagi kami pencabutan paspor tersebut di atas merupakan tindakan pelanggaran HAM. Sebab pencabutan paspor tersebut akhirnya berakibat mereka kehilangan kewarganegaraan Indonesia, menjadi stateless, apatride. Mereka tidak bisa pulang ke tanah air, terpaksa berpisah dengan keluarga, kehilangan karier di tanah air sebagai sarjana setelah tamat belajar, tidak dapat menyumbangkan tenaganya untuk bangsa dan negara. Anda bisa bayangkan betapa sedih-pilunya ketika ayah dan ibu meninggal dunia, di mana saya tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa mengubur sebaik-baiknya sebagai anak yang telah dibesarkan. Saya tidak bisa membalas jasa ayah-ibu, padahal berdasarkan budaya Jawa adalah penting sekali ajaran “Mikul dhuwur, mendhem jero”. Kenyataannya saya di tanah seberang “tidak dapat memikul tinggi-tinggi dan tidak dapat mengebumikan dalam-dalam”. Mungkin anda bisa merasakan bagaimana sedihnya mengalami hal tersebut. Keseluruhan penderitaan tersebut saya simpulkan sebagai akibat pelanggaran HAM yang dilakukan penguasa negara – Orde Baru terhadap saya (dan kami OTP pada umumnya).

Maka dari itulah penguasa Republik ini harus arif menyelesaikan masalah pelanggaran HAM tersebut dengan didasari penegakan kebenaran, keadilan dan rekonsiliasi:

1. Pemerintah harus mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran HAM oleh penguasa negara (Orde Baru) terhadap warganegaranya di luar negeri (OTP). Konsekwensi logis dari tindak pelanggran HAM tersebut pemerintah/negara harus secara jantan meminta maaf kepada para OTP tersebut di atas. Dengan demikian kebenaran tidak diplintir dan dijungkir balikkan. . Pemulihan hak-hak kewarganegaraan tanpa permintaan maaf sama saja dengan pengingkaran terselubung atas tindak kejahatan HAM terhadap OTP. Kebenaran inilah yang harus ditegakkan.
2. Berdasarkan keadilan para korban pelanggaran HAM mestinya mendapatkan keadilan riil-materiil, selain paspor/kewarganegaraan. Ini prinsipnya. Tapi karena negara dalam keadaan melarat, maka semuanya dapat diatur secara lain. Berbahagialah para anggota GAM meskipun memberontak melawan negara Indonesia ternyata mendapat santunan dan fasilitas banyak. Sedang para OTP yang cinta NKRI, Pancasila, anti separatisme dan tidak memberontak, sampai sekarang tidak mendapat perhatian negara. Bisakah pemerintah menegakkan keadilan?
3. Pemerintah tidak boleh mengulangi lagi praktek-praktek yang diterapkan kepada para korban pelanggaran HAM di Indonesia, yaitu melakukan tindakan-tindakan diskriminatif, bersih lingkungan dan semacamnya. Dan pemerintah harus menjamin keamanan mereka ketika berada/bertempat tinggal di Indonesia.

4. Pemenrintah tidak perlu memprasyaratkan agar para OTP mengangkat sumpah setia kepada negara untuk mendapatkan hak-hak kewarganegaraannya kembali (sebagaimana yang diminta Yusril Ihza Mahendra ketika pada tahun 2000 diutus Presiden Gus Dur ke Den Haag). Persyaratan demikian adalah penghinaan terhadap para OTP, yang cinta NKRI, Pancasila, tidak pernah memberontak, anti separatisme. Persyaratan demikian hanya cocok dan patut diterapkan kepada para pemberontak (GAM, OPM dll.).


PIB: Andaikata pemerintah mengeluarkan keputusan politik tentang pemulihan kewarganegaraan, kira-kira apakah para OTP akan menggunakan kesempatan tersebut?

MDK: Baiklah, mari kita berandai-andai. Andai kata nanti pemerintah benar-benar mengeluarkan keputusan politik tentang pemulihan kewarganegaraan kepada OTP, menurut pendapat saya mereka absolut berhak mempertimbangkan dan memutuskan menerima atau tidak kewarganegaraan tersebut. Sebab mendapatkan kembali kewarganegaraan adalah hak, bukan kewajiban. Kalau ada seseorang OTP tidak menggunakan kesempatan tersebut tentu ada sebab-sebabnya. Sebab bisa dimengerti secara praktis pemilikan kembali kewarganegaraan tidak memberi perobahan-perobahan riil dalam kehidupan, kecuali pembebasan visa kalau pergi ke Indonesia, pemilikan hak pilih dalam Pemilu dan untuk tinggal di Indonesia (bagi mereka yang kondisi jasmani dan finansinya memungkinkan).

PIB: Seandainya nanti Pemerintah membuat keputusan politik tentang pengembalian hak-hak kewarganegaraan para OTP, apakah mereka akan pulang kembali ke Indonesia?

MDK: Hak untuk menentukan tinggal di negara mana saja adalah hak asasi setiap orang, tidak tergantung pemilikan kewarganegaraan Indonesia. Jadi permasalahan pokok bukan masalah pulang, soal tempat tinggal, soal domisili, tetapi penegakan kebenaran dan keadilan. Apalagi kondisi obyektif kebanyakan para OTP tidak mudah untuk hijrah ke negeri mana pun, termasuk ke Indonesia. Sebab mereka sudah lanjut usia, menderita berbagai penyakit, di Indonesia tidak punya rumah, uang pensionnya tidak besar. Maka apabila di Indonesia jatuh sakit, keuangan mereka tidak cukup untuk membayar ongkos pengobatan di rumah sakit. Inilah masalah serius bagi OTP yang semuanya sudah dalam kategori manula dan selalu sakit-sakitan. Lain masalahnya kalau mereka tinggal di Belanda, Jerman, Swedia dll, masalah pengobatan tidak akan timbul, sebab sudah ditanggung oleh perusahan asuransi. Saya sangat menyangsikan apakah pemerintah menaruh kepedulian akan masalah-masalah tersebut.


PIB: Ada yang berpendapat bahwa OTP yang tidak memiliki paspor/kewarganegaraan Indonesia sudah tidak punya jiwa patriotisme lagi. Bagaimana komentar anda?

MDK: Pendapat demikian itu sangat tidak benar dan picik. Sebab patiotisme dari seseorang tidaklah dapat diukur dengan pemilikan kewarganegaraannya – paspornya. Hal itu sudah dibuktikan selama mereka menjadi OTP di luar negeri, di mana paspor yang dimiliki adalah paspor negara asing. Misalnya, mereka selalu mengadakan kegiatan-kegiatan (seminar, temu wicara, peringatan 17 Agustus, peringatan Hari Sumpah Pemuda, peringatan 100 Tahun Bung Karno, dan lain-lainnya) yang bertujuan untuk mendukung dan mengembangkan demokratisasi, tegaknya HAM, hukum dan keadilan di Indonesia. Mereka dengan tegas menentang separatisme. Mereka mempertahankan NKRI dan Pancasila. Mereka dengan tulus ikhlas memberikan perhatiannya atas musibah-musibah yang menimpa di tanah air, misalnya dengan pengumpulan dana bantuan untuk korban tsunami di Aceh dan gempa bumi di Yogya dan Klaten dan lain-lainnya.

Perlu diketahui bahwa mereka pada umumnya mempunyai idealisme tinggi. Bagi mereka untuk berbakti dan mencintai Indonesia, membantu tegaknya demokrasi, hukum dan HAM di Indonesia tidak dipersyaratkan adanya paspor/kewarganegaraan Indonesia, seperti yang telah dilakukan bertahun-tahun selama ini di luar negeri. Bahkan sejatinya pemilikan paspor/kewarganegaraan Indonesia sama sekali tidak menjamin bahwa pemiliknya adalah seorang patriot, bukan koruptor, bukan penjarah uang rakyat, bukan teroris penyebar bom yang mengacaukan keamanan, menyengsarakan rakyat Indonesia dan menjatuhkan nama Indonesia di mata internasional.
Jadi terserahlah kepada setiap OTP yang bersangkutan untuk menentukan menerima kembali kewarganegaraan Indonesia atau tidak. Andaikata mereka tidak ingin menerima kembali kewarganegaraan Indonesia tidak dapat dikatakan bahwa mereka bukan bangsa Indonesia lagi. Apalagi, saya ulangi lagi, patriotisme tidak ditentukan oleh pemilikan paspor/kewarganegaraan.


PIB: Apa komentar anda atas berita-berita di media massa tanggal 25 Agustus 2006 tentang rencana pemerintah untuk mempersilahkan “ex-mahasiswa era Orde lama” yang kini berdomisili di luar negeri agar pulang ke tanah air?

MDK: Hal itu bisa saya komentari demikian:
1. Berita-berita tersebut baru suatu wacana-kebijakan pemerintah, tetapi belum dituangkan dalam wujud Keputusan/Peraturan konkrit dan jelas. Maka untuk mengomentari secara benar kita perlu menunggu Keputusan Pemerintah secara resmi.
2. Meskipun demikian sudah nampak kesalahan pandang pemerintah seakan-akan masalah pokok berkaitan dengan para ex-mahasiswa (Mahid) adalah semata-mata hanya kepulangan ke tanah air dan pemilikan paspor/kewarganegaraan. Padahal masalah-masalah tersebut sudah tidak urgen lagi dan merupakan bagian kecil dari masalah besar/pokok. Sebab kapan saja para ex-Mahid bisa pergi ke Indonesia bernostalgi dengan kampung halaman dan kangen-kangenan dengan sanak keluarga. Masalah pokok adalah penegakan Kebenaran dan Keadilan. Tentu saja dapat dimengerti bahwa masalah Rehabilitasi tidak akan timbul kalau penguasa negara tidak mau menegakkan Kebenaran dan Keadilan.
3. Saya kira kebijakan pemerintah tersebut merupakan bukti bahwa penguasa negara mau tidak mau pada suatu saat terpaksa harus menangani masalah ex-mahid ( dan OTP pada umumnya) di luar negeri yang dicabut paspornya. Sebab masalah tersebut menyangkut pelanggaran HAM oleh negara, yang tidak dapat dibungkus dan disembunyikan selama-lamanya.
4. Berdasarkan pengalaman 6 tahun lampau di mana mereka merasa dibohongi oleh Menkumdang Yusril Ihza Mahendra, maka berita tentang akan diturunkannya kebijakan baru pemerintah sekarang ini ditanggapi sangat hati-hati oleh OTP.
5. Sangat diragukan dan mengundang kecurigaan: mengapa kebijakan tersebut hanya diberlakukan kepada para ex-mahasiswa saja, tidak menyinggung orang-orang non-mahasiswa yang juga dicabut paspornya? Apakah kebijakan tersebut bukan suatu diskriminasi penanganan masalah korban pelanggaran HAM? Atau apakah kebijakan tersebut bukan trik-trik tertentu pemerintah yang dewasa ini sedang kalang kabut menghadapi masalah-masalah berat? Atau trik lain yang bersangkutan dengan TAP MPR No. XXV/1966?
6 Saya condong ingin sependapat dengan seorang sahabat yang melihat bahwa kebijakan tersebut hanya untuk membuat imej kepahlawanan yang seakan-akan membela OTP (khususnya ex-mahasiswa) sikorban pelanggaran HAM. Tapi apakah hal itu bukan pahlawan kesiangan? Demi terlaksananya impian tahun 2009?


PIB: Terima kasih atas kesediaan Bapak untuk berdialog dengan kami. Semoga Bapak selalu sehat dan sukses.

MDK: Terima kasih kembali, juga saya ucapkan anda sukses.
“DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE-61 DAN HIDUP PANCASILA!!!”


“PATRIA INDONESIA BAKTI”, 27 Agustus 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar